Social Items


Baiq Nuril dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena melakukan perekaman ilegal. Dalam konstruksi hukum itu, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutus bagaimana status perekaman ilegal atau yang lebih dikenal dengan penyadapan.

Putusan MK itu diketuk atas permohonan Ketua DPR Setya Novanto. Pangkalnya, obrolan tertutup antara Setya Novanto dan Riza Chalid-Ma'ruf Sjamsudin direkam oleh Ma'ruf dan dibuka oleh Menteri ESDM Sudirman Said ke publik. Setya Novanto menilai perekaman ilegal itu merugikan dia dan menilai Sudirman Said tidak berwenang membukanya ke publik karena bukan aparat penegak hukum.


Lantaran hal itu, Setya Novanto meminta MK memberikan penjelasan konstitusional atas UU ITE, khususnya Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 44 huruf b UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apa penjelasan MK?


"Bahwa pada dasarnya tindakan penyadapan (interception), termasuk di dalamnya perekaman, adalah perbuatan melawan hukum karena penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain sehingga melanggar hak asasi manusia," kata MK sebagaimana dikutip detikcom, Minggu (7/7/2019).

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Selanjutnya Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan:

Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 

"Dari ketentuan pasal UUD 1945 a quo dalam kaitannya dengan penyadapan (interception) yang di dalamnya termasuk perekaman hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang. Bahkan, dalam konteks penegakan hukum sekalipun, pemberian kewenangan penyadapan sudah seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi digunakannya penyadapan secara sewenang-wenang," cetus MK dalam putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016.


Penyadapan sudah diatur dalam:


1. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
2. Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
3. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tipikor.
4. Pasal 75 huruf i UU Narkotika.
5. UU Terorisme.
6. UU Intelijen Negara.

"Berdasarkan beberapa undang-undang tersebut di atas, ternyata telah terang bahwa penyadapan untuk kepentingan hukum pun harus dilaksanakan berdasarkan prosedur hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, penyadapan yang dilakukan tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh undang-undang adalah tidak dapat dibenarkan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana telah dijamin oleh UUD 1945," papar MK.

Menurut MK, kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan HAM namun di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD 1945.

"Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, maka seluruh kegiatan penyadapan adalah dilarang karena melanggar hak konstitusional warga negara khususnya hak privasi dari setiap orang untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Penyadapan sebagai perampasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari hukum acara pidana, seperti halnya penyitaan dan penggeledahan," papar MK.


Tindakan penyadapan adalah bagian dari upaya paksa yang hanya boleh dilakukan berdasarkan UU. Bahkan dalam konteks penegakan hukum sekalipun, pemberian kewenangan penyadapan sudah seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi digunakannya penyadapan secara sewenang-wenang. 

"Kewenangan penyadapan tidak dapat dilakukan tanpa kontrol dan dalam konteks penegakan hukum yang paling berwenang memberikan izin melakukan penyadapan sekaligus melaksanakan kewenangan checks and balances terhadap kewenangan tersebut adalah pengadilan atau pejabat yang diberi kewenangan oleh undang-undang," pungkas MK dalam sidang yang diucapkan pada 7 Desember 2016.

Putusan di atas diketuk oleh 9 hakim konstitusi, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Manahan MP Sitompul, Patrialis Akbar, Suhartoyo, Aswanto, Wahiduddin Adams, dan Maria Farida Indrati. Dua hakim konstitusi menyatakan dissenting yaitu Palguna dan Suhartoyo.

Sumber Berita
https://news.detik.com/berita/d-4614385/kasus-baiq-nuril-yuk-baca-pertimbangan-mk-soal-perekaman-ilegal




Kasus Perkara Baiq Nuril


Baiq Nuril dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena melakukan perekaman ilegal. Dalam konstruksi hukum itu, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutus bagaimana status perekaman ilegal atau yang lebih dikenal dengan penyadapan.

Putusan MK itu diketuk atas permohonan Ketua DPR Setya Novanto. Pangkalnya, obrolan tertutup antara Setya Novanto dan Riza Chalid-Ma'ruf Sjamsudin direkam oleh Ma'ruf dan dibuka oleh Menteri ESDM Sudirman Said ke publik. Setya Novanto menilai perekaman ilegal itu merugikan dia dan menilai Sudirman Said tidak berwenang membukanya ke publik karena bukan aparat penegak hukum.


Lantaran hal itu, Setya Novanto meminta MK memberikan penjelasan konstitusional atas UU ITE, khususnya Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 44 huruf b UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apa penjelasan MK?


"Bahwa pada dasarnya tindakan penyadapan (interception), termasuk di dalamnya perekaman, adalah perbuatan melawan hukum karena penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain sehingga melanggar hak asasi manusia," kata MK sebagaimana dikutip detikcom, Minggu (7/7/2019).

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Selanjutnya Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan:

Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 

"Dari ketentuan pasal UUD 1945 a quo dalam kaitannya dengan penyadapan (interception) yang di dalamnya termasuk perekaman hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang. Bahkan, dalam konteks penegakan hukum sekalipun, pemberian kewenangan penyadapan sudah seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi digunakannya penyadapan secara sewenang-wenang," cetus MK dalam putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016.


Penyadapan sudah diatur dalam:


1. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
2. Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
3. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tipikor.
4. Pasal 75 huruf i UU Narkotika.
5. UU Terorisme.
6. UU Intelijen Negara.

"Berdasarkan beberapa undang-undang tersebut di atas, ternyata telah terang bahwa penyadapan untuk kepentingan hukum pun harus dilaksanakan berdasarkan prosedur hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, penyadapan yang dilakukan tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh undang-undang adalah tidak dapat dibenarkan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana telah dijamin oleh UUD 1945," papar MK.

Menurut MK, kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan HAM namun di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD 1945.

"Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, maka seluruh kegiatan penyadapan adalah dilarang karena melanggar hak konstitusional warga negara khususnya hak privasi dari setiap orang untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Penyadapan sebagai perampasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari hukum acara pidana, seperti halnya penyitaan dan penggeledahan," papar MK.


Tindakan penyadapan adalah bagian dari upaya paksa yang hanya boleh dilakukan berdasarkan UU. Bahkan dalam konteks penegakan hukum sekalipun, pemberian kewenangan penyadapan sudah seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi digunakannya penyadapan secara sewenang-wenang. 

"Kewenangan penyadapan tidak dapat dilakukan tanpa kontrol dan dalam konteks penegakan hukum yang paling berwenang memberikan izin melakukan penyadapan sekaligus melaksanakan kewenangan checks and balances terhadap kewenangan tersebut adalah pengadilan atau pejabat yang diberi kewenangan oleh undang-undang," pungkas MK dalam sidang yang diucapkan pada 7 Desember 2016.

Putusan di atas diketuk oleh 9 hakim konstitusi, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Manahan MP Sitompul, Patrialis Akbar, Suhartoyo, Aswanto, Wahiduddin Adams, dan Maria Farida Indrati. Dua hakim konstitusi menyatakan dissenting yaitu Palguna dan Suhartoyo.

Sumber Berita
https://news.detik.com/berita/d-4614385/kasus-baiq-nuril-yuk-baca-pertimbangan-mk-soal-perekaman-ilegal




No comments